Kisah Muthi'ah Cetak
Ditulis oleh Administrator   
Senin, 11 November 2013 10:37


"Sungguh luar biasa! Benarlah kata ayahku, engkau perempuan berbudi baik." kata Fatimah terkagum-kagum.

Tidak lama sebelum itu...
"FATHIMAH anakku, maukah engkau menjadi seorang perempuan yang baik budi dan istri yang dicintai suami?" tanya sang ayah yang tak lain adalah Nabi SAW. "Tentu saja, wahai ayahku"

"Tidak jauh dari rumah ini berdiam seorang perempuan yang sangat baik budi pekertinya. Namanya Muthi'ah. Temuilah dia, teladani budi pekertinya yang baik itu".

Gerangan amal apakah yang dilakukan Muthi'ah sehingga Rasulpun memujinya sebagai perempuan teladan? Maka bergegaslah Fathimah menuju rumah Muthi'ah dengan mengajak serta Hasan, putra Fathimah yang masih kecil itu.

Begitu gembira Muthi'ah mengetahui tamunya adalah putri Nabi besar itu. "Sungguh, bahagia sekali aku menyambut kedatanganmu ini, Fathimah. Namun maafkanlah aku sahabatku, suamiku telah beramanat, aku tidak boleh menerima tamu lelaki di rumah ini."

"Ini Hasan putraku sendiri, ia kan masih anak-anak." kata Fathimah sambil tersenyum.

"Namun sekali lagi maafkanlah aku, aku tak ingin mengecewakan suamiku, Fathimah."

Fathimah mulai merasakan keutamaan Muthi'ah. Ia semakin kagum dan berhasrat menyelami lebih dalam akhlak wanita ini. Lalu diantarlah Hasan pulang dan bergegaslah Fathimah kembali ke rumah Muthi'ah.

Khasiat Tiga Benda 'Keramat'

"Aku jadi berdebar-debar," sambut Muthi'ah, gerangan apakah yang membuatmu begitu ingin kerumahku, wahai puteri Nabi?"

"Memang benarlah, Muthi'ah. Ada berita gembira buatmu dan ayahku sendirilah yang menyuruhku kesini. Ayahku mengatakan bahwa engkau adalah wanita berbudi sangat baik, karena itulah aku kesini untuk meneladanimu, Wahai Muthi'ah."

Muthi'ah gembira mendengar ucapan Fathimah, namun Muthi'ah masih ragu. "Engkau bercanda sahabatku? aku ini wanita biasa yang tidak punya keistimewaan apapun seperti yang engkau lihat sendiri."

"Aku tidak berbohong wahai Muthi'ah, karenanya ceritakan kepadaku agar aku bisa meneladaninya."Muthi'ah terdiam, hening. Lalu tanpa sengaja Fathimah melihat sehelai kain kecil, kipas dan sebilah rotan di ruangan kecil itu.

"Buat apa ketiga benda ini Muthi'ah" Muthi'ah tersenyam malu. Namun setelah didesak iapun bercerita. "Engkau tahu Fathimah, suamiku seorang pekerja keras memeras keringat dari hari ke hari. Aku sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang kerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya. Kubuka bajunya, kulap tubuhnya dengan kain kecil ini hingga kering keringatnya. Iapun berbaring ditempat tidur melepas lelah, lalu aku kipasi beliau hingga lelahnya hilang atau tertidur pulas"

"Sungguh luar biasa pekertimu, Muthi'ah. Lalu untuk apa rotan ini?"

Kemudian aku berpakaian semenarik mungkin untuknya. Setelah ia bangun dan mandi, kusiapkan pula makan dan minum untuknya. Setelah semua selesai, aku berkata kepadanya: "Oh, kakanda. Bilamana pelayananku sebagai istri dan masakanku tidak berkenan dihatimu, aku ikhlas menerima hukuman. Pukullah badanku dengan rotan ini dan sebutlah kesalahanku agar tidak kuulangi"

"Seringkah engkau dipukul olehnya, wahai Muthi'ah?" tanya Fathimah berdebar-debar.

"Tidak pernah, Fathimah. Bukan rotan yang diambilnya, justru akulah yang ditarik dan didekapnya penuh kemesraan. Itulah kebahagiaan kami sehari-hari".

"Jika demikian, sungguh luar biasa, wahai Muthi'ah. Sungguh luar biasa! Benarlah kata ayahku, engkau perempuan berbudi baik." kata Fathimah terkagum-kagum.
Wallahu a'lam bishshawwab